Pengawas ini selalu mengawasi aku

Inilah dunia yang aku hadapi sekarang. Aku harus bergaul dengan mereka yang sudah mendapat posisi sebagai pengawas sekolah. Sementara itu aku berada dalam posisi yang gamang. Aku hanya didudukkan sebagai staf kantor. Aku hanya duduk manis tanpa ada aktivitas yang nyata sebagai seorang pendidik. [Maaf, bukan aku suka berkeluh kesah].

Ada yang bisa dinikmati di sini. Aku bisa ngobrol banyak dengan berbagai lapisan orang di saat-saat tertentu. Seperti kali ini, ada acara pelantikan pengawas baru. Kita ngobrol, dan pertanyaannya kenapa aku tidak diberi kesempatan untuk mengajukan diri sebagai pengawas? Dalam hati, kalau aku mengajukan diri, tentu aku akan berhadapan dengan orang yang sudah mengatakan aku sebagai sampah. Dia sedang berkuasa di seksi yang terkait dengan pendidikan madrasah. Kalau aku harus ketemu dia, rasanya aku tidak akan sanggup. Kalau begitu, terpaksa aku menahan diri dulu.

Dalam kegalauan, sempat seorang pengawas melihat aku yang sedih sampai-sampai aku bilang ‘aku sedang mencari tuhan’. Itu aku katakan ketika aku mau sholat dhuha. Dia masih saja mengingat pernyataan itu. Kalau ketemu dia akan mengulang pertanyaan, “Sudah ketemu dengan tuhan?” Siang ini dia juga mengatakannya kembali.

Ini gurauan yang terjadi antara mantan guru dan para pengawas. Dia suka mengawasi gerak-gerik dari orang yang galau. Aku tahu mereka tidak simpati dengan keadaanku.

Apa peran guru di kantor yang baru?

“Bapak tugas di mana sekarang?” Itulah pertanyaan yang aku dengar dari banyak orang yang mendengar cerita tentang kepindahan atau alih fungsi yang aku alami. Mereka, so far, adalah teman-teman yang peduli dengan keadaan yang terjadi padaku. Masalahnya, mereka mungkin juga sempat mendengar aku mengalami depresi karena perlakuan yang tidak manusiawi di sana. Seorang guru yang dipindah dengan paksa dari tugasnya di sekolah ke kantor. Persangkaan yang menyakitkan adalah aku mengalami gangguan mental. Aku yang mengalami sendiri. Aku tahu, sakit hatiku tidak boleh disimpan terlalu lama di dalam perasaan atau pikiran. Jangan sampai kewarasanku hilang karena fitnah yang memang sengaja mereka tumpahkan. Mereka sedang menikmati enjoynya bisa menghancurkan hidupku.

Pertanyaan tentang peranan yang bisa aku lakukan di kantor? Aku tidak bisa menjawab sekarang atau nantinya. Kenapa? Sudah sebulan dua bulan ini aku mencoba menyelami suasana kantor ini. Saat pertama kali aku menerima surat tugas untuk ikut bergabung dengan seksi pendidikan diniyah dan pondok pesantren, aku diminta beradaptasi dulu. Tidak ada tugas yang benar-benar tugas bagiku. Aku malah diminta main badminton saja. Tidak boleh terlalu memikirkan tugas-tugas kantor, sebab sudah ada sekitar empat orang yang siap mengerjakan apa saja yang menjadi layanan di sini. Cukup. Aku hanya diminta enjoy saja. Jangan merasa risau, itu cukup.

Terus jawaban dari pertanyaan tadi? Ya, tidak ada. Fungsi dan peran guru harus sudah dihapus dari pikiran. Tidak perlu lagi dipikirkan saat ini. [Jangan sekali mereka yang sudah menempatkan aku dalam posisi ini]. Aku harus menguburkan semua semangat atau ide-ide tentang pengajaran bahasa Inggris.

 

Di kantor ini, selama yang aku tahu, orang tidak perlu memakai perasaan dan akal sehat kalau mau melanjutkan kehidupan yang aman dan damai. Kebalikan dengan ayat-ayat yang pernah aku renungkan maknanya–mata, telinga dan hati itu dilumpuhkan dulu. Jangan dipakai. Ini solusi agar tidak meledak-ledak pikiran atau perasaannya. Dengan cara ini juga, sebagian besar orang mengatakan dengan nasehat-nasehat mereka.

Sabar. Kata itu bahkan terucapkan dari mulut-mulut kotor tukang fitnahnya.

Di Terminal, Aku Menunggu Lagi

Tetap, hatiku masih saja terobsesi dengan profesi guru. Aku tidak perlu melupakan. Ada saja orang yang mengingatkan aku agar aku bersikap ikhlas untuk menerima apa saja yang terjadi pada perkembangan keadaan yang menutup kesempatan berkarir sebagai guru bahasa Inggris. Aku tidak dibolehkan untuk melanjutkan tugas mengajar di sekolah itu lagi. Aku memang bilang, ini dunia terbalik. Fitnah itu lebih dipercaya di kementrian yang penuh dengan orang-orang yang mengaku beragama.

Aku berada di sebuah terminal. Aku dipaksa berhenti untuk menantikan masa-masa yang tepat bagiku secara pribadi untuk kembali melakukan perjalanan hidup secara normal dan bahagia. Biasanya, kendaraan yang membawa para penumpang menuju kota kebahagiaan itu tidak akan lama. Selalu, setelah kesulitan akan ada kemudahan. Jadwal selalu berlainan.

Benar. Aku sudah berputar-putar dalam kebingungan menunggu kendaraan itu. Tidak ada yang datang. Malah, aku dibingungkan oleh seseorang yang bernama Munir. Dia menyuruh aku datang ke sebuah sekolah yang jauh di Kepohbaru. Katanya, aku harus menjalani satu pengasingan di sana. “Kalau sudah, nanti aku buatkan lagi surat tugas yang baru.” Begitulah pernyataan dia pada suatu kesempatan. Orang itu mengatakan dengan penuh percaya diri. Aku diamkan saja apa yang dikatakan itu.

Tetapi aku adalah guru yang memiliki satuan kerja yang tetap di man1bojonegoro. Aku tak bisa keluar ke mana-mana untuk mencari tambahan jam mengajar, meskipun itu berdasarkan surat tugas yang dibuat oleh seseorang yang Munir sekalipun. Kenyataan yang terjadi adalah aku tak diberi tugas mengajar apa-apa di Kepohbaru.

Berbagai macam pembicaraan yang menyangkut perkembangan karir guru berakhir dengan saran dari kepala sekolah di Kepohbaru, kasubag tu di kantor dan lainnya lebih menyuruh aku membuang impian untuk tetap menjadi guru. Aku harus merelakan semuanya. Aku diminta membuat surat permohonan alih tugas dari guru menjadi staff di kantor. “Ini demi kebaikan!” Entah kebaikan siapa. Terjadilah apa yang mereka mau. Aku dipindahkan tugas menjadi staff di kantor yang sepertinya juga tidak membuat aku menikmati kebahagiaan sebagai seorang pribadi yang darahnya adalah darah guru.

Inilah terminal yang menjadi tempatku berhenti sejenak.

Ad Nauseam, kopi hitam tanpa gula

Sebuah kata baru ad nauseam aku berikan dalam tulisan ini. Memang ada-ada saja gaya guru bahasa untuk bercerita. Aku perlu menghadirkan Rene Descartes yang berfilsafat  tentang jati diri seorang manusia. Penting manusia itu bisa berpikir. Kopi hitam untuk guru pun sudah siap di atas meja, seteguk menjadikannya kenceng dalam berpikir. Aku rasa, pahit sekali rasanya kalau mereka yang berkuasa tidak mau berpikir.

Ad nauseam artinya muak dan hampir muntah. Aku memang merasa sebal dengan gaya birokrat yang sok berkuasa. Maklum, di dunia pendidikan tidak mungkin ada caranya orang itu bisa memaksakan kehendaknya kepada orang lain tanpa alasan yang benar. Kalau mereka mau belajar kembali, Indonesia sekarang ini sedang berjuang keras untuk mengembangkan program pendidikan #cerdasberkarakter. Apa mereka juga tahu itu? Mereka sendiri tidak begitu peduli dengan strategi pendidikan untuk penguatan sikap, peningkatan pengetahuan dan tahu bagaimana menentukan kebijakan.

cogito_ergo_sum_by_kurozael-d4et04mSebaiknya memang kopi hitam tanpa gula saja. Biarkan guru dan pendidik angkat bicara dan mulai berpikir waras tentang bagaimana sekolah ditata ulang. Campur tangan dari pihak birokrasi jangan sampai mengamputasi visi dan misi pendidikan sebenarnya. Di posisi sekarang, orang-orang yang berjiwa pendidik dan guru semakin turun derajatnya, hanya menjadi tukang ngajar. Sedikit sekali pengaruh keberadaan mereka dalam upaya memperjuangkan nasibnya sendiri. Mereka dibelenggu oleh sistem birokrasi nakal, yang sepertinya tidak begitu cermat dalam keberpihakannya memajukan pendidikan. Ada permainan politik yang jahat di dunia pendidikan saat ini.

Guru adalah guru. Apa artinya pendidikan digelar kalau guru tidak dihargai. Exposure jelas di mana-mana. Kualitas guru tidak menjadi prioritas pengembangan sekolah. Ada sisi-sisi manipulasi, kalau misalnya ada program pelatihan peningkatan kualitas guru. Sirkulasi kesempatan, jumlah dan kualitas proyek pengembangan dan pendidikan guru sendiri minta ampun jauhnya dari standar normalnya.

Enakan kalau mengambil gagasan sopir truk saja. “Kuat dilakoni, tidak kuat ditinggal ngopi!” Secangkir kopi memang cerita dari seorang guru yang disakiti. Nasibnya saja hanya ditentukan oleh orang yang tidak mau mengerti. Dia bilang, “Nasibmu semua ada di ujung pulpen ini.” Siapa itu? Rahasia. Guru itu tidak masuk kategori berkuasa.

Aku kembali menyadari. Kopi hitam di depanku sudah mulai dingin. Aku seruput habis saja. Hari Jum’at sekarang ini, perjalanan hidupku hanya akan beraksi menulis. Tidak ada perlunya datang ke lokasi sekolah. Ini demi menjaga stabilitas diri. Tidak seperti biasanya. Aku juga tidak memakai sepatu dan baju olah raga. Aku sedang semedi.

 

Terus terang, ini masalah caranya saja

Apabila Allah mencintai suatu kaum, pastilah Dia akan mengujinya“.

Tidak banyak harapan yang aku miliki. Aku hanya mau Allah yang menjadi penolong dan pendampingku dalam menjalani hidup ini. Hanya itu saja. Aku sudah menyerahkan semua permasalahan di antara kita ini. Dia yang akan memperhitungkan masalah hitam dan putihnya. Aku merasa, semua ini hanya permainan dan sandiwara saja. Permainan itu wajar dan biasa saja. Kalau ada sesi muhasabah, kita semua bisa sama-sama belajar untuk saling mengalah. Bisa jadi kita semua akan mendapat barokah. Sayang ibroh itu belum sempat kita tuntaskan bersama.

Malam ini aku kembali merenungkannya. Masyaallah! Aku banyak menemukan catatan tentang kejadian yang berkembang selama ini. Aku juga membaca buku yang sudah aku tuliskan, “Developing Language Awareness and Communicative Competence.” Aku pikir kalian bisa ikut membaca tulisan ini. Aku menggagas tentang pentingnya kesadaran dan kepekaan berbahasa serta kemampuan berbahasa. Apakah kalian tahu keterkaitan dari tulisan ini dengan masalah yang berkembang di sekolah? Apakah kalian tahu perhatian dan keprihatinan yang ada dalam pikiranku? Semua berhubungan dengan kebahasaan. Ini memang sudut pandang guru bahasa yang basis penelitiannya etnografi.

Cerdas berbahasa adalah sebuah kelebihan manusiawi. Hubungan sosial yang baik itu sangat dipengaruhi oleh baik-buruknya adat budaya berbahasa di dalam pergaulan di antara sesama anggota masyarakat di sana. Ternyata, lingkup pembicaraannya adalah pada lingkungan sekolah. Aku hanya satu bagian kecil masyarakat itu. Tidak terlalu bisa dibanggakan kalau hanya sekedar guru bahasa. Sebagai etnografer, aku sendiri memiliki peranan yang sama dengan semua anggota masyarakat sekolah. Pikiran dan perasaan, aku merasa memilikinya. Marilah cerdas membahasakannya.

cropped-fb_img_1500944494560Sedikitnya aku juga menggali masalah qaulan. Kalau juga memahami. Kata itu berarti tata cara berbahasa menurut Al-Quran. Kalian percaya? Aku sebutkan saja: qaulan ma’rufa, qaulan sadida, qaulan baligha, qaulan maysura dan qaulan layyina. Semuanya pasti pernah mempelajarinya. Kata-kata dan cara berbahasa. Ini semua sejalan dengan yang aku sebutkan sebagai language awareness. Inilah saat yang tepat untuk belajar. Aku menawarkan kronologi berbahasa tentang cinta sesama manusia.

Pagi ini bertemu dengan banyak orang. Salah satunya, yang menarik perhatianku, bilang kalau kita semua sedang mengalami ujian dari Allah dalam posisi masing-masing. Nilai kita semuanya akan ditentukan dari bagaimana kita menggunakan akal dan pikiran yang sehat. Kalau aku bilang, “Mari ngopi, mari berkata-kata.” Silahkan saja diberikan tanggapan yang jelas dan cerdas dalam mendudukkan kembali bahasa cinta sebagai norma dan nilai mulia. Aku pikir kita semua sudah sama-sama dewasa.

Manusia itu dinilai dari kedewasaannya dalam berbahasa.

Sepenggal Cerita 

Ini ruang pertemuan kita dulu
Aku yakin kamu masih ingat semua
Murid perempuan ada di ujung sana

2962fa6881e4698a0e29176d9202f15fKalian bertiga
Aku menghadapi semua
Dua duduk di utara
Satu menghadap aku dan jendela
Kita bersama beda pikiran saja
Luar biasa kalau kalian lupa

Dengan wajah kanak-kanakmu
Kata-katamu tentang kafir
Kamu ucapkan musyrik
Lantas batasan munafik

Kamu yang bicara di sana
Padahal aku tidak suka
Kapan berkata-kata
Lidah kelu kala itu
Tua bangka dusta
Nada angkara

Stop dan hentikan saja
Coba katakan dengan tata
Rupanya kamu saja yang bicara
Sebab kedua itulah bara

Aku gerah dengan tatapan
Menantang dan mengundang
Aku persilahkan sepatah kata
Mulut kamu sama saja
Tawarkan tempat
Pendusta

Subhanallah, aku lupa

Ingatkah kamu dengan wajah seorang laki-laki diam yang ada di depannya. Simpan dulu semua kata-katamu. Pikirkan dengan betul bagaimana ekspresi yang dia pasang ketika melihat ke arah tempatmu duduk. Benar. Persis. Orangnya berbaju putih dengan sebatang rokok di jarinya.

Sudah ingat? Dia itu orang yang jadi kasubag tu di kantor. Pasti kamu lupa siapa namanya. Aku sudah yakin dialah orang yang paling berperan dengan rencana dan rekayasa pindahya guru-guru dari sekolahku. Ide kepindahan dari sekolahku muncul dan karena inisiatif kepala sekolahku.